Di Indonesia ini, gelar akademik dipandang sebagai tanda kepintaran. Maka untuk menunjukkan diri pintar, orang suka menulis seluruh gelar akademik bersama namanya. Di Australia orang cukup menulis Prof. Adam Smith, di Indonesia orang menulis Prof. Drs. John Sombong, M.App.Sc., Ph.D. Bukan hanya di kartu nama, gelar lengkap juga ditulis di KTP, di kartu rekening listrik, di kartu rekening PDAM. Bukan hanya itu, untuk menunjukkan diri hebat, orang Indonesia lebih menyukai angka-angka daripada kata-kata. Maka orang yang suka menuliskan rumus matematika akan dipandang lebih pintar daripada orang yang suka menulis puisi. Bukan hanya itu, penelitian yang menggunakan angka sebagai data dipandang lebih hebat daripada yang menggunakan kata sebagai data. Maka tidak heran, orang berupaya mengubah data kata-kata menjadi data angka, data kualitatif menjadi data kuantitatif.
Hal yang sama terjadi dalam bidang Epidemiologi Penyakit Tumbuhan. Simak misalnya penggunaan skor untuk menilai penyakit. Skor adalah data ordinal yang artinya bernilai beda hanya dalam hal peringkat. Apakah skor 1 menyatakan terbaik atau sebaliknya 5 menyatakan terbaik, sebenarnya tidak menjadi soal. karena hanya menunjukkan peringkat maka skor tidak bisa dikenai operasi matematik semacam tambah, kurang, kali, bagi. Sebab, skor 1 yang menyatkan bakso tidak enak bila ditambah dengan skor 1 lagi akan menjadi skor 2 yang menyatakan bakso enak. Padahal sebenarnya tidak mungkin demikian, karena bila orang dipaksa makan dua mangkok baksi tidak enak maka rasanya akan menjadi semakin tidak enak, bukannya menjadi enak.
Tapi begitulah, orang Indonesia memang suka rumus, tidak peduli yang dimasukkan ke dalam rumus itu sebenarnya apa. Simak misalnya rumus untuk menghitung intensitas penyakit dari data skor yang lazim digunakan di Indonesia:
I=[sigma(n x v)/(N x Z)] x 100
I=intensitas dalam %, n=jumlah satuan pengamatan dengan nilai skor tertentu, v=nilai skor pengamatan, N=jumlah seluruh satuan pengamatan, dan Z=nilai skor tertinggi yang ditetapkan.
Misalnya, dari pengamatan 1, 2, dan 3 diperoleh skor 2, 3, dan 3 dari skor tertinggi 5, maka diperoleh:
I=[(1 x 2 + 2 x 3)/(3 x 5)] x 100
I=(8/15) x 100
I=53,33%
Keren!!! Data skor diubah menjadi data persen yang berskala rasio dengan cara melakukan operasi tambah dan kali terhadap data skor. Bakso tidak enak yang berskor 1 bila dikalikan 2 maka menjadi skor 2 yang berarti bakso enak. Tampak pintar, tapi sebenarnya bodoh. Bukan hanya itu, dengan rumus ini data skor dikorupsi menjadi data rasio. Maka ini menjadi pelajaran pertama melakukan korupsi. Kelak, setelah menjadi pejabat, yang dikorupsi bukan lagi angka skor dijadikan rasio melainkan angka uang keringat rakyat.
Tapi kita orang Indonesia memang suka bermain dengan angka, entah itu angka uang atau angka jumlah serangga. Saking begitu suka bermain uang, koma menjadi sedemikian penting. Katanya semakin banyak angka di belakang koma maka semakin teliti. 2,555 dianggap lebih teliti dari 2,55 dan lebih teliti dari 2,5 dan lebih teliti lagi daripada dibulatkan menjadi 2. Bayangkan, apakah artinya 2,5 ekor serangga? Bukankah 0,5 ekor serangga sebenarnya hanya merupakan mayat serangga? Apakah mayat serangga masih dapat merusak tanaman sehingga orang suka menulis padat populasi hama adalah 2,5 ekor? Atau apakah arti 2,555 cm panjang tubuh larva serangga bila panjang tubuh serangga tersebut diukur dengan mistar yang skala terkecilnya hanya sampai 1 mm? Entahlah, silahkan mereka yang merasa pintar dengan cara mempermainkan angka-angka yang menjawab semua pertanyaan ini. Mereka yang pintar itu tentu yang gelarnya banyak sebab di Indonesia, semakin tinggi gelar akademik seseorang, bukannya semakin mengerucut disiplin ilmunya, melainkan semakin melebar kiri kanan. Maka tidak heran bila kemudian seorang Prof. Dr. Biologi FMIPA suatu waktu meneliti penyakit bercak daun kacang tanah dan pada waktu yang lain meneliti cendana. Rupanya, bukan hanya kekuasaan yang mendikte pengetahuan, sebagaimana dikatakan oleh seorang pemikir Perancis Michael Foucault, tetapi juga gelar ternyata dapat memperkosa pengetahuan.
Hal yang sama terjadi dalam bidang Epidemiologi Penyakit Tumbuhan. Simak misalnya penggunaan skor untuk menilai penyakit. Skor adalah data ordinal yang artinya bernilai beda hanya dalam hal peringkat. Apakah skor 1 menyatakan terbaik atau sebaliknya 5 menyatakan terbaik, sebenarnya tidak menjadi soal. karena hanya menunjukkan peringkat maka skor tidak bisa dikenai operasi matematik semacam tambah, kurang, kali, bagi. Sebab, skor 1 yang menyatkan bakso tidak enak bila ditambah dengan skor 1 lagi akan menjadi skor 2 yang menyatakan bakso enak. Padahal sebenarnya tidak mungkin demikian, karena bila orang dipaksa makan dua mangkok baksi tidak enak maka rasanya akan menjadi semakin tidak enak, bukannya menjadi enak.
Tapi begitulah, orang Indonesia memang suka rumus, tidak peduli yang dimasukkan ke dalam rumus itu sebenarnya apa. Simak misalnya rumus untuk menghitung intensitas penyakit dari data skor yang lazim digunakan di Indonesia:
I=[sigma(n x v)/(N x Z)] x 100
I=intensitas dalam %, n=jumlah satuan pengamatan dengan nilai skor tertentu, v=nilai skor pengamatan, N=jumlah seluruh satuan pengamatan, dan Z=nilai skor tertinggi yang ditetapkan.
Misalnya, dari pengamatan 1, 2, dan 3 diperoleh skor 2, 3, dan 3 dari skor tertinggi 5, maka diperoleh:
I=[(1 x 2 + 2 x 3)/(3 x 5)] x 100
I=(8/15) x 100
I=53,33%
Keren!!! Data skor diubah menjadi data persen yang berskala rasio dengan cara melakukan operasi tambah dan kali terhadap data skor. Bakso tidak enak yang berskor 1 bila dikalikan 2 maka menjadi skor 2 yang berarti bakso enak. Tampak pintar, tapi sebenarnya bodoh. Bukan hanya itu, dengan rumus ini data skor dikorupsi menjadi data rasio. Maka ini menjadi pelajaran pertama melakukan korupsi. Kelak, setelah menjadi pejabat, yang dikorupsi bukan lagi angka skor dijadikan rasio melainkan angka uang keringat rakyat.
Tapi kita orang Indonesia memang suka bermain dengan angka, entah itu angka uang atau angka jumlah serangga. Saking begitu suka bermain uang, koma menjadi sedemikian penting. Katanya semakin banyak angka di belakang koma maka semakin teliti. 2,555 dianggap lebih teliti dari 2,55 dan lebih teliti dari 2,5 dan lebih teliti lagi daripada dibulatkan menjadi 2. Bayangkan, apakah artinya 2,5 ekor serangga? Bukankah 0,5 ekor serangga sebenarnya hanya merupakan mayat serangga? Apakah mayat serangga masih dapat merusak tanaman sehingga orang suka menulis padat populasi hama adalah 2,5 ekor? Atau apakah arti 2,555 cm panjang tubuh larva serangga bila panjang tubuh serangga tersebut diukur dengan mistar yang skala terkecilnya hanya sampai 1 mm? Entahlah, silahkan mereka yang merasa pintar dengan cara mempermainkan angka-angka yang menjawab semua pertanyaan ini. Mereka yang pintar itu tentu yang gelarnya banyak sebab di Indonesia, semakin tinggi gelar akademik seseorang, bukannya semakin mengerucut disiplin ilmunya, melainkan semakin melebar kiri kanan. Maka tidak heran bila kemudian seorang Prof. Dr. Biologi FMIPA suatu waktu meneliti penyakit bercak daun kacang tanah dan pada waktu yang lain meneliti cendana. Rupanya, bukan hanya kekuasaan yang mendikte pengetahuan, sebagaimana dikatakan oleh seorang pemikir Perancis Michael Foucault, tetapi juga gelar ternyata dapat memperkosa pengetahuan.
pada dasarnya orang pintar lebih mengetahui hal- hal baru dibanding dengan orang bodoh tapi orang bodoh juga tidak dapat dikatakan bodoh seutuh nya dia juga tidak pernah memilih untuk menjadi orang bodoh tapi keadaan dan dirinya sendirilah yang membuat dia bodoh begitu juga sebaliknya dengan orang pintar.
BalasHapusJadi pada dasarnya menjadi orang pintar atau bodoh itu adalah pilihan kita sendiri
Itulah realita yang sering terjadi, khususnya di bidang ilmu pengetahuan banyak kasus atau masalah yang penyelesaiannya dengan menggunakan data kuantitatiflah yang diakui kebenarannya di bandingkan dengan data kualitatif , walaupun pada kenyataanya di lapangan tidak seperti itu. Tulisan ini kembali menginggatkan saya pada sebuah kalimat yang di sampaikan Bapak ketika memeberikan kuliah pada kami, “Angka bukan realitas,angka hanya wakil dari realitas”. Terima Kasih Pak, karna saya belajar lagi.
BalasHapusingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat ayo segera bergabung dengan kami di f4n5p0k3r
BalasHapusPromo Fans**poker saat ini :
- Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
- Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
- Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis
Ayo di tunggu apa lagi Segera bergabung ya, di tunggu lo ^.^